Friday, October 7, 2011

Menit-Menit yang Berbicara

Baru terhitung beberapa menit tertidur, benturan roda pesawat dan landasan membuatnya terbangun...
Mereka sudah mendarat rupanya...

Baru terhitung beberapa menit pesawat menyentuh landasan, tahu-tahu pesawat itu berhenti...
Mereka telah sampai, sedikit lagi para penumpang sudah bisa keluar dari pesawat...

Baru terhitung beberapa menit setelah ia menginjakkan kaki di gedung terminal, ia berhenti.
Air matanya jatuh.
Sebuah fakta harus ia sanggupi.
Ia telah berada ribuan kilometer dari tempat yang telah ia anggap rumah...

Cepat-cepat ia mencari toilet...
Dikuncinya pintu lalu ia membiarkan dirinya menangis...
Namun, pelan-pelan ia memandang dirinya di kaca, lalu menggumam dalam hati...
"you'll be fine... "
"you'll be fine..."
Ada rasa takjub sedikit...
Bisa-bisanya air mata itu otomatis keluar padahal ketika ia mengucapkan salam perpisahan dengan sahabat-sahabatnya, tak setetes pun keluar. Bahkan, hatinya tak merasakan apa-apa. Semuanya terasa cepat. Baru, setelah ia masuk ke dalam ruang tunggu, langkahnya memberat, dan pelan-pelan air matanya meleleh. Hanya begitu. Lalu, selama penerbangan, pikirannya ditenggelamkan oleh rasa lelah.
Dan saat itu, hatinya terasa diserang bongkahan besi. Beratnya minta ampun. Perih. Air matanya keluar dengan lancarnya.

Baru beberapa menit keluar dari toilet, bau bunga kamboja menyeruak seperti ingin mengatakan padanya bahwa ia benar-benar ada di pulau Bali. Bukan di Seoul, bukan di Minneapolis. Papan-papan reklame dan papan-papan petunjuk jelas-jelas berbahasa Indonesia, menyatakan bahwa ia di Indonesia, dan bukan di Amerika.
Ya, ia sudah di tanah kelahirannya.
Baru beberapa menit ia mengantri untuk melewati imigrasi, ia sudah di depan petugas. Antrian untuk warga negara Indonesia itu pendek. Hanya kurang dari 20 orang.
Baru beberapa menit ia mencari koper bawaannya, ia sudah menemukan 3 kopernya sekaligus.
Hanya dalam hitungan menit, ia disambut oleh orangtua angkatnya, lalu diantar pulang.

Beberapa menit kemudian, ia bertemu dengan ibunya dan segalanya menjadi normal. Ia tahu bahwa tempatnya di sana. Namun beberapa menit berlalu, ia merasa gamang. Ada ketakutan yang mengusiknya tentang hidupnya nanti di Indonesia. Di tempat di mana segala aturan itu ada untuk dilanggar. Ia berpikir bahwa ia harus memulai dari nol. Beradaptasi lagi. Mulai mempelajari segala sesuatunya lagi dan di saat bersamaan tidak melupakan apa yang telah ia dapatkan di negeri orang.
Takut?
Jelas.
Hanya, ia percaya pada iman.
Iman mengenai segala hal akan berjalan lancar hanya berdasarkan kepercayaan
Sebuah pengetahuan yang absurd namun manjur.

Menit berikutnya, ia tertidur pulas bersama ibunya... dan berjanji kepada diri sendiri bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

Ya akan baik-baik saja...





CVB

No comments:

Post a Comment