Tuesday, March 28, 2017

Di Balik Retina - Edisi Bali

Bali...

Aroma Pantai...

Peringai Santai...

Tak ada yang percaya kalau kota lain di Indonesia jauh dari yang namanya Bali.
Bali, sebuah komponen berdiri sendiri dengan membawa tradisi dan modernisasi bertumbuh bersama-sama. Tak ada satu kata yang lebih tepat selain #Baligenic. Hanya Bali yang bisa. Hanya di Bali... Ya.. dan kali ini retinaku merekam segala sesuatu yang kutangkap selama di Bali.

Tak ada gambar, hanya sebuah rangkaian kata-kata mencoba untuk memproyeksi apa yang mataku rekam.

Ke Bali bukan sebagai pelancong kali ini, tapi punya sedikit kesempatan untuk akhirnya bisa benar-benar "melihat" Bali lebih jelas. Tinggal di daerah Sanur sedikit membawaku ke masa lalu. Keluarga angkatku tinggal di Bunderan Renon, aku sering dibawa pagi-pagi ke pantai Sanur untuk berenang dan malamnya biasanya dibawa untuk makan Gelato dekat-dekat situ. Tapi, selain itu, aku tidak mengingat hal lain apa yang ada di Sanur. Tidak banyak sebenarnya yang bisa aku ceritakan, hanya malam itu aku baru sadar kalau aku belum pernah menikmati Bali seperti malam itu.
Malam itu setelah makan di tepi pantai, aku memutuskan untuk berjalan menyusuri jalanan sepanjang hotel. Hanya aku dan suara ipod. Tidak ada tujuan. Sekitar pukul 20.30, beberapa gerai sudah tutup, tapi sepanjang jalan masih terang. Aku berjalan tanpa arah, tanpa hp, tanpa dompet. Hanya jalan saja sekenanya. Yang kuperhatikan adalah sedikit dari kota di Indonesia yang mempunya pedistarian friendly. Mungkin hanya di sekitar daerah turis saja, tapi sepanjang jalan aku tidak terlalu khawatir akan pengendara motor atau pengendara mobil yang lalu lalang, tidak seperti jika aku sedang di Surabaya atau di Makassar.
Hal lain yang aku lihat, aku merasa seperti berada di negara orang, tetiba menjadi minority, merasa diri bukan turis, bukan lokal. 80% manusia-manusia yang lalu lalang di sepanjang jalan jelas bukan berasal dari Indonesia. Model bangunan dan restoran pun disesuaikan. Semuanya tanpa jendela, tanpa AC, hanya satu lantai, dan mennyediakan tempat outdoor. Mungkin banyak yang sudah sadari ini soal Bali, Tentu saja, ini hanya trjadi di sekitar tempat touristy. In the end, this is a part of Bali. A city in my very own country.
Aku berhenti beberapa saat di sebuah bar yang paling penuh malam ini. Merka menyuguhkan musik raggae dan bisa kubilan tempat itu yang paling penuh. Botol-botol beer, beberapa piring berisi kudapan, dan terlihat semua pengunjung menikmati tempat itu. Aku melepaskan earphone dan ikut menikmati musiknya. Mataku menangkap tanda lin.

"NO SHRT, We Don't serve!"

Note that...
Buatku ini menarik. Beberapa waktu lalu, daerah Kuta dan mungkin hampir semua daerah Touristdi Bali dipenuhi dengan pelancong pria tanpa atasan. Kupikir, mereka tdak akan perduli, namun ternyata mereka mulai perduli. No more bikini and shirtless man on the street. :) Aku rasa itu juga kontribusi dari para pelancong yang mulai sadar bahwa Bali itu Indonesia. Sebuah negara yang masih memegang beberapa nilai conservative, berasaskan agama. Beberapa postingan di Trip advisor juga mendukung perihal berpakaian di Bali. Tanktop and shorts are definitely appropriate, menurutku pribadi, aku lebih leluasa berpakaian ketika di Bali. Yang mana kadang memakai short pants saja bisa membuat risih karena banyak orang-orang yang memperhatikan ketika di kota lain selain di Bali, Makassar salah satunya tapi tidak di Bali tentu saja. Bali mempunyai fashionnya sendiri. #Baligenic, hanya di Bali. In the end, I am still smilin seeing that sign - "NO SHIRT, We don't serve" Commonsense babe, it is all about common sense. Bikinis on the street is a bit too much belum lagi tidak baik untuk kesehatan. Kata orang Indonesia.. "nanti masuk angin, dan juga banyak nyamuk"

Hal lain yang aku tangkap, hanya di Bali hampir sepanjang jalan menawarkan pizza, pasta, burger, dan makanan Indonesia sekaligus di satu restoran. It is all about adapting and adjusting. Para pelancong dan lokal saling mencoba memahami satu sama lain melalui makanan. Menarik... Ada juga yang khusus menawarkan makanan tradisional tapi dengan gaya yang lebih global. Aku ingat ketika pesiar di Korea Selatan, hampir semua tempat di luar tourist area masih menggunakan Hangul. On the other end, I enjoyed it more than things are tourist ready. Hanya saja, di Bali menurutku ini satu hal lain yang memang #Baligenic.

Bali memang tempat yang unik. Di antara semua kota di Indonesia, kita mengakui bahwa orang-orang Bali adalah masyarakat yang masih sadar akan pelesarian kebudayaan. Orang-orang lokal masih memahami bahasa tradisional Bali. Mempunyai kepribadian beragama yang kuat. Solidaritas tinggi. Gedung dan banyak peraturan lain masih ikut peraturan budaya dan agama. Tidak ada gedung yang tinggi, karena tidak boleh lebih tinggi dari pura. Di satu sisi yang lain, masyarakat Bali juga bisa dibilang yang paling 'terbuka' dengan segala kebudayaan lain. Makanan salah satunya. Aku rasa aku bisa makan makanan dari banyak negara hanya menyusuri satu jalan di daerah Kuta atau Sanur atau bahkan di daerah Ubud. Greek, Mexican, Mediteranean, Japanese, Middle-eastern, Italian, Nasi Padang, you name it
Itulah Bali...

Hanya di Bali...
Hanya Bali yan bisa..

#Baligenic.













*my work attire when in Bali.. sudah cukup #Baligenic? lol
CVB

Thursday, March 2, 2017

Selamat Senja Hati

Selamat senja hati..
Ada pelangi melintang di langit
Walaupun hari yang lalu, ada hati terasa sakit.
Sebab mendengarkan  pernyataan sengit.
Namun biar begitu di peghujung hari ..
Kau tahu jalan yang benar untuk selalu diikuti..
Tak perlu pemerhati
Cukup harapan yang sedikit 

Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart... - Jennifer Julius (a friend of mine) 

Still haven't given up :) 
I am praying for you, me, them, ... us... 

Catatan kaki: 
Sebuah note di pertengahan Februari kemarin, ketika hati sedang terombang ambing. 


CVB