Wednesday, November 23, 2011

Perasaan Ingin Bermain-main....

Hari ini tepat seminggu saya "kembali ke sekolah." Rasa-rasanya saya di sana sudah tahunan. Sudah mulai beradaptasi. Sudah mulai rindu anak-anak saya ketika akhir pekan. Sudah mulai mengenal gelagat tiap anak. Sudah merasa menyayangi dan disayangi.
Di kelas ada 4 pengajar dan kelas itu dibagi dua - perempuan dan laki-laki. Mereka akan mengawali hari dengan bersama-sama, hanya saat ke WC untuk cuci tangan atau mengerjakan tugas adalah saat di mana laki-laki dan perempuan dibagi dua. SAya kebetulan mendapatkan bagian untuk mengawasi anak laki2. Memang lebih sibuk ke sana ke mari, namun terasa lebih enak. Makin ramai makin meriah.
Ada saat-saat di mana anak-anak saya berlomba ingin saya pangku ketika menonton video. Ada yang bercerita tentang kenapa dia terlambat, tentang ayahnya yang selalu capek ketika malam tiba. Ada yang ingin saya yang temani ketika datang masuk ke kelas. Semuanya itu membuat saya mulai sayang kepada mereka.
Kalian yang membaca postingan ini pasti merasa bahwa hidup saya sudah senang, bahwa keputusan saya untuk pulang itu tepat. Saya dengan entengnya bisa menyetujuinya, tapi lagi-lagi saya masuk ke dalam permainan perasaan. Senang sudah pasti, tapi rasa takut masih terus menghantui. Entah apa. Trauma mungkin. Saya belum berani bilang sepenuhnya kalau keputusan saya tepat. Tapi di saat yang bersamaan, rasa syukur itu benar-benar tidak terucapkan. Dan berbuah rasa tenang... Damai jika saya bisa tambahkan.Bisa saja ini kusebut sebagai awal sebuah yang baik, walaupun tidak menjanjikan absennya "kesusahan" di depan nanti yang tetap membuat saya merasa takut.


Lalu, yang paling membuat saya merasa dipermainkan perasaan adalah perasaan sesak karena rindu yang herannya selalu datang tiba-tiba. Tidak ada aba-aba. Rindu yang tidak menyimpan penjelasan. Tangis yang seperti terprogram setiap kali nama-nama itu singgah di kepala. Nama-nama itu seperti mantra...
Tidak cukup sampai di situ, tiap hari Minggu adalah jadwal saya untuk lebih merasakan rindu ini. Misa di sini berbeda sekali dengan di Minneapolis, sehingga membuat saya merasa seperti berada jauh dari mereka. Apalagi didukung oleh tingkat kekhusyukan yang berbeda. Saya merasa risih menjadi sedikit dari mereka yang masih berlutut ketika sebelum dan sesudah komuni. Saya rindu mendengar deruan bunyi tempat berlutut. Saya rindu menggenggam tangan-tangan hangat ketika mengumandakan doa Bapa Kami. Saya rindu menit-menit itu...



Ujung-ujugnnyaa saya hanya bisa mengetik...
T.erima kasih...

sebuah ungkapan sederhana. Hasil dari kepasrahan dan apresiasi atas apa yang saya terima.
Dan saya tidak menyesal atas keputusan saya ...


CVB

No comments:

Post a Comment