John McGlynn |
Setelah membulatkan tekad untuk duduk diam dan menikmati diri sendiri, tiba-tiba mataku tertumbuk pada acara televisi yang disiarkan oleh Metro TV.
Face to Face with Desy Anwar. Kali ini, tentang seorang expat yang rela mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan sastra Indonesia. Dia penerjemah sastra Indonesia. Seorang Kaukasian, bukan orang Asia. Orang berkulit putih dengan makanan pokok gandum bukan nasi. Orang yang sering menyerukan huruf 'R' dengan lucu dan tidak tegas. Seorang yang bernama John H. McGlynn. Seorang dari Wisconsin yang mengambil Indonesian Literature sebagai program Masternya di University of Michigan Ann Arbor.
Judul-judul buku yang sudah diterjemahkan - masih banyak lagi. |
Dan ia benar. Saya mengetahui soal orang Inggris yang mendewakan teh dan rela menyisakan waktu mereka di Sore hari untuk meminum teh sambil mengemil kudapan dari serial Lima Sekawan oleh Enyd Blyton. Ayah saya mengenal budaya orang China dari buku-buku silat yang ia lahap sewaktu muda dulu. Saya mengetahui tentang PolPot dan pembantaiannya yang tidak masuk akal melalui Lucky Child by Loung Ung. Mempelajari budaya India melalui cerpen Jumpa Lahiri, dan masih banyak lagi. Buku adalah bukti. Buku adalah brankas penyimpanan harta yang paling aman. Karena... ia akan selalu di sana... apa yang sudah ditorehkan hitam putih, tercetak di sana... selamanya. Bahkan... kita mengetahui apa yang terjadi di masa lalu dan peradaban suatu bangsa dimulai dari karya sastranya.
McGlynn menyayangkan bahwa Literature atau sastra tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Padahal, identitas sebuah bangsa ditemukan melalui sastra. Lihat saja negara-negara hebat seperti Korea Selatan, Jepang, China, negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Peradaban mereka tertata dan rasa nasionalisme mereka tinggi. Mereka adalah negara-negara yang memperjuangkan karya sastranya dan mencintai mereka. Saya ingat, anak host family saya di Seattle dulu harus membaca novel untuk PR mereka.
McGlynn juga menyatakan "Indonesia is the Fourth biggest country, but they are not learning from their own literature." Padahal, ia menambahkan, bahwa manuskrip dalam bahasa Melayu ditemukan pada abad ke-17. Jauh sebelum manuskrip di negara-negara Barat ada. Melayu adalah sebuah bahasa kuno. dan bahasa Indonesia adalah keturunannya. Tapi, sekarang... banyak teman seumuran saya yang tidak tahu banyak soal Bahasa Indonesia yang benar. Mereka hanya fasih berbahasa Indonesia sehari-hari. Kata 'mengigau' saja mereka tidak tahu. Jangankan teman seumuran saya, murid-murid saya banyak yang lebih tahu kata-kata dalam bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Itu juga yang menjadi alasan bagi saya ingin cepat-cepat hengkang dari sekolah tersebut. Saya terkadang merasa bersalah mengajarkan bahasa lain kepada tunas baru negara ini. Untungnya, sebagai wali kelas saya juga mengajarkan bahasa Indonesia. Walaupun cuma dapat jatah sejam satu minggunya, saya bisa melihat antusias tinggi dari murid-murid saya, dan ini akan saya pertahankan...
Cukup sudah saya mengajarkan legenda Indonesia melalui bahasa asing. Mereka juga harus tahu bagaimana rasanya menikmati cerita rakyat melalui bahasa sendiri. Bahasa Indonesia. Banyak teman-teman saya di Amerika mengatakan bahwa bahasa Indonesia enak didengar, dan ingin saya berkata... bahwa bahasa Indonesia juga enak untuk dibaca.
Ketertarikan saya kepada bahasa Indonesia muncul sejak saya hobi membaca novel. Kira-kira SMP . Dan semakin menjadi ketika saya menemukan kesenangan dalam menulis. Setiap bahasa mempunyai keindahan tersendiri dan keunikannya yang distinctive. Lihat saja postingan ini, ada kata-kata yang lebih tepat jika menggunakan bahasa Inggris, namun... secara keseluruhan postingan yang berbahasa Indonesia ini tidak menyusahkan mata bukan? haha.
Pernah sekali, seorang muridku bertanya... "what people are you Miss?" saya ternganga sebentar. Saya menyadarkan diri bahwa ia hanya bocah berumur 6 tahun yang masih polos. Ia menyatakan dirinya sebagai Chinese people, memang lebih panjang jika mengatakan saya orang Indonesia berketurunan China, jadi kebanyakan dari kami hanya mengatakan "saya orang China." Padahal maksudnya adalah saya keturunan China. Sedih memang, jika isu SARA masih menghantui kami minoritas. Jadinya, ada perasaan membedakan "saya orang Indonesia asli" dan "saya orang Indonesia keturunan"
Hati saya semakin rikih ketika sadar bahwa sekarang sedang Trend utnuk memasukkan anak ke sekolah bertaraf Internasional. Ini seperti gerakan bunuh diri pelan-pelan. Nilai-nilai luhur Indonesia sudah banyak bergeser, ditambah lunturnya budaya berbahasa Indonesia yang baik dan benar, makin gawatlah keadaan negara ini. Ujung-ujungnya, rasa nasionalisme berkurang drastis, dan akhirnya perpecahan.
Saya berharap, ketika saya mempunyai anak - bilanglah 6 atau 7 tahun ke depan, saya tidak perlu mengikuti arus trend ini. Tidak ada yang lebih penting daripada membentuk identitas anak melalui kesadaran bahwa ia adalah orang Indonesia.
Apalagi, bahasa Indonesia itu bahasa yang sederhana. Bahasa Indonesia memang hanyalah sebuah bahasa serapan dari bahasa Arab, Belanda, Inggris, Sanskerta, China, dan masih banyak lagi. Namun, kita tidak perlu susah-susah menghafalkan rumus tenses. Cukup dengan membaca yang banyak, kita bisa fasih berbahasa Indonesia.
Terdengar sok nasionalis ya? hahaha
Ironis memang karena saya ini menimba ilmu di negara orang. Justru karena itulah saya makin merasa 'Indonesia'. Ternyata saya tidak sendiri, negara ini tercetus juga karena anak-anak yang sekolah di luar negeri. Sebut saja Mohammad Hatta dan sederet pejuang kemerdekaan. Mereka adalah anak-anak terpilih yang disekolahkan oleh pemerintah Belanda. Tujuan sebenarnya, pemerintah Belanda ingin memperkejakan orang lokal yang berpendidikan. Maka, pemerintah Kolonial mengirim beberapa orang terpilih dan...itu menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda. Orang-orang ini dibuka wawasannya dan semakin merasa identitas mereka lain dari pemerintahan Belanda. Mereka harus mengukuhkan identitas yang mereka sudah rasakan sejak Sumpah Pemuda - 20 tahun sebelum kemerdekaan. Maka, mereka dengan gigih mengompori rakyat yang lain untuk membentuk suatu negara kesatuan.
Kata McGlynn lagi... adalah suatu kesalahan jika kita menggantungkan semuanya kepada pemerintah. Maksudnya, pemerintah memang harus berkomitmen untuk mempertahankan budaya negeri ini, tetapi adalah bodoh jika semuanya tergantung pemerintah. Makanya, ia tetap berusaha untuk optimis bahwa ia bisa mempertahankan literatur Indonesia. Dia sudah mulai mengerjakan mimpinya sejak tahun 1987 ketika ia mendirikan Lontar Fondation bersama 4 sastrawan Indonesia lainnya. Lontar yang menerjemahkan banyak mansukrip Indonesia untuk diterbitkan di negara lain. Tetapi semuanya sia-sia jika bangsa Indonesia sendiri tidak mengenal karya sastranya. Bayangkan! Penduduk Indonesia adalah 250 juta jiwa, penerbit biasanya hanya menerbitkan paling kurang 5000 kopi. Hmmm....
Maukah kau melihat negeri ini jatuh hancur, karena harkatnya rusak? Seperti buku-buku itu? |
McGlynn tidak sendirian. Banyak penulis muda yang gigih mempertahankan bahasa Indonesia dalam karya-karyanya. Dee, Winna Efendi, Andrei Aksana, Andre Hirata, dan banyak lagi yang masih terus berkaya dan mempromosikan budaya Indonesia melalui karya-karyanya.
Negara akan kuat, jika bangsanya merasa memiliki negara ini. Bangsa akan merasa memiliki ketika ia menyadari identitasnya sebagai suatu bangsa. Dan identitasnya dikuatkan oleh Bahasanya. Harusnya kita bangga... Bahasa Melayu di Malaysia bukan lagi menjadi bahasa nasional mereka. Mengingat ada 3 bangsa besar yang mendomisili di sana, jadinya mereka lebih banyak berbahasa Inggris. Di Phillipina bahkan masih banyak yang tidak fasih berbahasa Tagalog. Mereka lebih fasih berbahasa bahasa daerahnya masing-masing. Kita di Indonesia... sampai ke pelosok pun masih tahu berbahasa Indonesia. Kita masih bisa berkomunikasi dengan orang yang di Sabang maupun di Merauke.
Mama selalu berkata... "saya senang kalau kau tinggal di Amerika. Indonesia sudah bobrok. Servis orang-orang tidak bagus, banyak korupsi" Saya cuma jawab... saya suka Indonesia. Om saya bilang, "Chen jago bahasa Inggris, kenapa nda tinggal di sana saja?" saya cuma balas... "saya suka tinggal di sini, saya suka bahasa Indonesia. suka sekaliii..." dan saya harap ada dari kalian yang setuju.Memang... sampah ada di mana-mana, saya pun mengeluh soal itu, belum lagi servisnya, cara mengemudi, sopan santun yang makin bergeser, tetapi... entah mengapa jika saya tidak menyebut Indonesia sebagai rumah, saya seperti membohongi diri saya sendiri. Saya menyeleweng dari identitas saya.
Jika saya meninggalkan Indonesia karena negara ini sudah bobrok, saya tidak beda dengan penjahat yang lari dari tanggung jawab. Walaupun tangan saya cuma dua dan saya hanya bisa bergerak pelan-pelan, tetapi saya yakin... pekerjaan sekecil apapun jika niat saya tegas, semua akan bisa membantu membangun negara ini lagi.
Saya mengerti bahwa negara ini terlalu banyak persoalannya. Kalau salah satu orang pemerintahan membaca postingan yang semacam ini, mereka hanya meliriknya sambil lalu dan mungkin bergumam "masalah kami yang lain masih banyak..." Ya... memang benar negara ini terlalu banyak masalahnya. Sampai tidak ada pikiran mau mulai dari mana. Paling tidak, kita harus mulai dari diri kita. Aku tahu ini terdengar super klise dan kita sudah bosan setengah mati untuk mendengarnya. Tetapi memang begitu...
Kita yang bisa memperbaikinya atau... menghancurkannya.
Mungkin masiha da sisa-sisa pertanyaan di kepala kalian... "apa gunanya sih sastra itu?" Saya pernah bertanya hal serupa kepada ayah saya. Ayah saya dengan simpel menjawab "seni memperhalus jiwamu... dengan banyak membaca, kita makin banyak tahu, bukan soal ilmu pengetahuan, atau informasi, tetapi bagaimana caranya menghadapi masalah, merasakan situasi, dan berpikiran kritis"
Sekarang setiap kali membaca novel Indonesia, saya merasa ada pelajaran sastra kental yang kadang-kadang menggelitik saya untuk menelaahnya lebih jauh. Tidak jarang, saya menyalin quote-quote bagus dan berpikir untuk membuat essay panjang mengenai sastra itu. Sastra membantu kita untuk berpikir kritis, dan berpikir out of the box - kreatif. Dan buku- buku kita juga menawarkan itu...
SAya ingat di akhir seminar Merry Riana, ia mengatakan "... yang terakhir saya bangga menjadi orang Indonesia. Walaupun saya tinggal di negara orang, saya tidak akan melupakan negara saya, dan saya ingin memajukan negara saya. Indonesia!!! Pasti Bisa...!" dan seminar itu pun ditutup dengan lagu Indonesia Raya... yang ternyata... mampu membuat saya merinding dan menitihkan air mata...
Aku Indonesia...
kalau bukan kita... siapa lagi...
it's always been you...
Refrain oleh Winna Efendi |
Fun Facts:
ada beberapa Universitas di Amerika Serikat yang menawarkan bahas Indonesia sebagai salah satu mata kuliah..
South-east Asian Studies, University of Michigan
Northern Illinois University
University of Washington
Saya masih belum banyak baca bacaan-bacaan sastra negara ini, tetapi saya akan memulainya... sekarang...
Another great link.
CVB
No comments:
Post a Comment