Tanggal 17 Agustus kemarin, saya tidak meng-update status yang bersemangat nasionalisme. No greetings, no congratulate note to my beloved Indonesia. Saya merasa kemerdekaan yang kita dapatkan sekarang dipergunakan terlalu bebas. Warga Indonesia merdeka membuang sampah sembarangan, melanggar lalu lintas sekenanya, dan merdeka melakukan korupsi dan 'main belakang' dari urusan kecil hingga legal. Merdeka? Ya kami merdeka. Terlalu merdeka.
Semenjak pulang ke negara ini, banyak sekali sisi-sisinya yang membuat saya sedih sekali. Seperti melihat 'anak' saya yang tumbuh remaja dan melakukan pemberontakan. Seperti itulah yang saya rasakan setiap kali melihat anak-anak maupun orang dewasa membuang bungkus makanan atau aqua dari jendela mobil. Seperti ini juga yang saya rasakan ketika melihat proses pembuatan sim di 'belakang.' Uang ratusan ribu dipindah tangankan dan berujung di kantong masing-masing. Sedih. Merasa 'salah didik.'
Ada banyak hal di Indonesia yang menyimpang ke arah yang lebih biadab dibandingkan beradab. Mengapa saya katakan demikian, karena banyak warga kota yang sekarang melanggar aturan seperti minum air. Tidak rasa apa-apa, terbiasa dengan rasa tawarnya.
Yang paling sederhana adalah membuang sampah. Saya nggak ngerti kenapa kok rasanya susah sekali warga Indonesia membuang sampah pada tempatnya. Apakah karena kurangnya tempat sampah di kota-kota? Bisa jadi. Rasa-rasanya menyimpan bungkusan sedotan aqua gelas untuk barang 5 sampai 10 menit kok rasanya lamaa sekali. Banyak yang langsung membuang sekenanya, padahal kalau jalan sedikit, ada tempat sampah di dekat pintu. Di hutan pun demikian. Bungkus gula-gula sudah seperti daun kering yang berguguran. Tidak ada rasa kecintaan sama sekali. Hutan itu tempat asing, bukan bagian dari kehidupan manusia, bukan bagian dari rumah kita - bumi. Ada 2 kejadian yang paling membuat saya sedih. Yang pertama ketika keponakan saya meninggal, diadakan doa di rumah sepupu saya itu. Setelah selesai acara, tidak ada satu orang pun, pelayat, yang capek-capek membuang sampahnya sendiri. Aqua kosong maupun setengah penuh dibiarkan bergeletak di sudut-sudut rumah. Yang lebih menyedihkan, ketika saya memungut sampah, mereka pura-pura tidak tahu. Tidak ada rasa bersalah sama sekali, ketika saya memungut sampah di dekat kaki-kaki mereka. Geser sedikit pun tidak. Yang kedua, tempat sampah menjadi pajangan di pedagang kaki lima. Pihak si pedagang kaki lima sudah menyiapkan tempat sampah di tiap meja!! Tapi, sampah-sampah tissue dan bekas jeruk nipis tergeletak serampangan di lantai Sekitar tempat sampah. Apakah berdiri sebentar lalu buang itu perjalanan sejauh ratusan kilometer yang memakan waktu berjam-jam?
Yang kedua adalah rambu-rambu lalu lintas. Nyetir di Indonesia itu sama saja sedang mengikuti lomba adu cepat dengan aturan masing-masing. Banyak motor yang main serobot di pinggir sisi kiri kanan padahal datangnya dari arah berlawanan. Angkot apa lagi. Setiap ruas trotoar adalah halte mereka. Mau di ujung jalan mau di depan lampu merah, mau di depan rumah orang, pokoknya terserah penumpang. Becak jalan enak-enak di daerah tanda larang. Lampu merah hanya sebagai lampu penghias. Rambu-rambu sama seperti pigura pajangan rumah. Diketahui keberadaannya namun dilihat sambil lalu.
Yang ketiga, SDMnya. Para pekerja toko hingga pekerja rumah tangga. Meladeni para pelanggan dengan telepon genggam di depan mata. Jari-jari menjawab cepat tanpa ada kontak mata dengan si pelanggan. Pembantu rumah tangga pun demikian. Menyapu sambil telponan. Kita membayar mereka itu untuk telponan atau kerja ya?
Hm... saya sampai nggak tahu mau ngomong apa selain minta maaf sama pejuang kemerdekaan dulu. Apa kata Kasimo, apa kata Mgr. Soegijapranata, apa kata para jenderal-jenderal, para komodor, para tentara gerilya, para keluarga veteran yang kehilangan anggota keluarga mereka karena ikut serta dalam mempertahankan Indonesia. Paling menyakitkan adalah mendengar kata Soekarno. Apa katanya jika ia melihat "anak"nya dengan kelakuan seperti ini? Tahukah kalian bahwa Indonesia setelah diprokalimir kemerdekaannya masih harus perang mempertahankan Indonesia? Pertermpuran 5 hari di Semarang, hingga peristiwa 10 November di Surabaya. Rakyat Indonesia dulu melawan Jepang yang masih ingin menduduki Indonesia bahkan setelah kemerdekaan diproklamasikan, di Surabaya pun demikian. Mereka melawan Belanda yang kembali ingin menjadikan Indonesia menjadi negara boneka mereka. Mungkin saat ini, saya lebih berharap kita jangan merdeka dulu. Karena kita sendiri belum siap merdeka. Diberi kebebasan, digunakan seenaknya. Diberi kebebasan malah keasyikan sendiri.
Kasihan para pejuang kemerdekaan itu, baik yang bertempur dan berjuang melalui diplomasi. Semuanya hanya sia-sia. 67 tahun merdeka, terlalu merdeka...Kita mau tuntut apa sama pemerintah jika kita sendiri jalan sedikit untuk buang sampah saja malas, kita mau hujat pemerintah untuk apa, ketika kita sendiri melanggar peraturan yang telah mereka kelola. Indonesia bisa tertib jika kita jalan sedikit saja untuk membuang sampah atau simpan sampah kecil kita barang beberapa menit. Indonesia bisa benar-benar merdeka jika kita, warga dan pemerintah, bekerja sama dengan baik. Jangan menyalahkan pemerinta melulu. Dan pemerintah jangan makan kenyang dan tidur melulu di sidang ya. Saya tahu ada sekian banyak anggota DPR yang benar-benar ingin bekerja untuk mengabdi negara, tetapi ditindasi dengan para 'pajangan-pajangan' yang hanya suka kekuasaan. Terus berjuang, kami juga berjuang di sini...
Kami masih belum merdeka. Kami... masih berjuang...
CVB
No comments:
Post a Comment