Saturday, September 10, 2011

Cerita Tentang Keputusan

Kadang saya ingin tertawa kepada diri saya. Hati dan otak saya terlalu menyusahkan kadang-kadang. Mereka itu seperti pasangan yang sudah lama, saling membutuhkan namun memiliki pribadi yang berbeda, jadinya sering punya masalah. Contohnya, kadang otak saya memperlihatkan opsi-opsi yang memang rasional dan sangat mungkin dilakukan, tapi di lain pihak, hati saya baik secara diam-diam maupun blak-blakkan sering menyuarakan sesuatu yang impossible. Sampai kadang-kadang saya sering bertanya sendiri.... "Maunya apa sih..."

Sampai sekarang saya belum menemukan rumus yang tepat untuk membuat sebuah keputusan. Sepertinya ini akan menjadi bahan riset saya seumur hidup. Hipotesis saya selalu dibingungkan oleh variabel-variable (emosi, logika, intuisi) yang sering overlapped. Apakah saya memutuskan sesuatu itu berdasarkan emosi, pikiran, atau intuisi?
Untuk pertanyaan ini, saya cukup yakin kalau lebih condong memutuskan sesuatu berdasarkan intuisi. Jeleknya, logika dan emosi saya tentunya tidak absen, dan maka dari itu riset saya menghasilkan sesuatu yang disebut confoud dalam bahasa statistics. Saya kadang bingung sebab intuisi itu tidak pernah mempunyai formula jelas. Seperti sebuah magic. Tiba-tiba muncul. Kadang nggak punya alasan kuat yang mendasar tapi ajaibnya, ujung-ujungnya hasil dari keputusan itu tidak mengecewakan. Payahnya, saya sendiri belum jeli benar untuk mendeteksi mana yang intuisi mana yang emosi. Kadang dua hal ini benar-benar membingungkan.

Ahhh ini benar-benar sulit...

hahahaha... kadang saya ingin tertawa melihat ketika saya dipermainkan oleh otak, hati, dan yang disebut-sebut intuisi itu.

Oke, mungkin saya harus menjelaskan apa yang mencetus perbincangan mengenai pengambilan keputusan. Setelah mencoba meyakinkan diri sendiri, setelah membiarkan otak saya mengeluarkan banyak ide-ide rasionalnya, akhirnya... hati saya yang memegang kendali. Walaupu rasanya sudah mantap untuk mencari pekerjaan di sini, hati saya masih gelisah. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk pulang kampung. Yes baby, I am going home... home home - Makassar, Indonesia...


Padahal dari awal, saya sudah mewanti-wanti diri untuk mencari pekerjaan di sini. Ide itu keluar gara-gara melihat bahwa sangat logis untuk mencari uang dan pengalaman dulu di sini - Amerika, lalu setelah itu lanjut S2. Sungguh sangat mediocre and at the same time, it did sound... right....
Nonetheless, my heart didn't feel at ease either....


Then, suddenly my mom called me and mentioned about going home, she gave a green light for me to go home. It meant that she didn't mind if I go home...
Mendengar itu, hati saya benar-benar rasanya lega....
Sangat lega...

Lalu, prosesnya belum selesai sampai di situ. Hari-hari setelah percakapan dengan mama, saya membuat persentase keinginan untuk pulang, mulai dengan 50:50.... lalu 55:45.... lalu 65:35, lalu turun lagi 55:45

Alasan naik turunnya persentase itu karena di satu sisi... saya merasa menyia-nyiakan kesempatan untuk tinggal di Amerika, menggali pengalaman, dan hidup independen, namun... di sisi lain... ya saya merasa hati saya tidak di sini... hati saya lebih memanggil untuk pulang. Lalu karena itu, otak saya mulai memberikan ide...bahwa jika saya pulang saya bisa merawat mama yang sudah 4 tahun saya tinggalkan, belajar mobil, belajar di kantor, dan berbagai hal lain. Namun, yang paling menguatkan itu adalah mama. Rasa-rasanya kami berdua memang saling membutuhkan. Dan, kali ini... sudah cukup saya membiarkan dia dirawat oleh orang lain. Itu sebabnya membuat saya akhirnya membeli tiket dan memutuskan untuk pulang. For Good....

YEs...
For Good...

Leaving the U.S for limitless time...


Awalnya, saya baik-baik saja.... Excited... kepala saya udah mulai dipenuh-penuhi oleh ide bahwa saya akan mendekor ulang kamar, membuang barang yang sudah tidak dipakai, melakukan hal yang sama di kamar mama, mengurus rumah, masak, dan pada intinya merawat orang tua. Sebagai anak satu-satunya, saya wajib menjaga dan merawat orang tua saya yang sudah tidak muda lagi umurnya, apalagi kondisi mama yang sudah tidak bisa mandiri.

:)

Tapi, ujung-ujungnya... saya takut...

:)

haha...

ya saya takut...

Takut stuck...

takut banyak hal...

lucunya... semakin saya takut... semakin saya mantap untuk pulang...

aneh kan?

Di kondisi seperti inilah saya biasanya hanya tertawa-tawa sendiri geleng-geleng kepala, menertawakan hati dan otak saya....

Ada sesuatu yang unik di situ... Mereka menyuarakan 2 hal yang bertolak belakang... namun di saat yang bersamaan, mereka saling melengkapi...

Belum cukup sampai di situ.... mendekati hari H untuk pulang, everything looks sooooo goooooood.... everything is working out well....


My roomies, newcomers, closed friends, Minneapolis... many things....


^_________________^

Di posisi seperti ini, hati saya sempat bimbang.... jadi nggak kepengen pulang...
Giliran otak saya berkata bahwa...
Belum tentu.... gambaran yang bagus ini menjadi sebuah gambaran bagus untukmu... Perubahan akan terus terjadi... Tidak ada yang benar-benar bisa diprediksi.... 

Dan itu benar...
Belum tentu... apa yang saya pikir bagus akan menjadi bagus...
Belum tentu... apa yang saya takuti akan kejadian...
Belum tentu... keputusan saya untuk pulang itu adalah bentuk penyesalan...

Lagi-lagi semuanya belum tentu...
Tentunya, konsekuensi saya pulang juga pasti ada...

Saya hanya ingat kembali... ketika mama mengiyakan saya pulang... hati saya terenyuh, dan juga.. merasa lega. sangat lega...

Sama seperti ketika Harry Potter menyentuh tongkat sihir Phoenixnya...Dia merasakan panas di sekujur tubuhnya... dan serasa tongkat itu melekat nyaman di tangannya...

Apakah keputusan itu sama seperti tongkat sihir yang memilih pemiliknya??

Mungkin...

:)

CVB

1 comment:

  1. waktu gw baru mau jalan dr jakarta juga semuanya terlihat sangat baik, trus gw super kangen sm temen2 sma gw, nangis deh. tp yaa manusia makhluk kebiasaan. lama2 kebiasaan. thou it will never feel the same, you'll get used to how it feels.

    ReplyDelete