Warning: This post contains a lot of things about Catholic and very looonggg hahaha
Nampaknya, paskah kali ini akan berlalu biasa-biasa saja pikirnya. Daripada merasakan kekecewaan yang lain, mendingan ia tidak berharap banyak. Perayaan *Minggu Palma kemarin memang berlalu biasa-biasa saja. Padahal Minggu Palma termasuk perayaan besar bagi umat Katolik. Hari Minggu itu Gereja Katolik merayakan penyambutan Yesus. Biasanya akan ada perarakan dengan daun palma di tangan, seperti pada jaman Yesus dulu. Tahun ini, ia tidak mengikuti perarakan dikarenakan ia mengikuti *misa dalam Bahasa Inggris, jadinya hanya dirayakan seadanya saja. Ahh... ia kangen dengan *Newman Center. Misanya juga sederhana namun ada situasi yang nyaman dan hangat di sana. Ia hanya berpikir bahwa pekan suci kali ini akan berjalan biasa-biasa saja. Tanpa ada sesuatu yang berarti.
Kamis malam, ia dan ayahnya mengikuti misa Kamis putih kedua di* parokinya. Datang agak terlambat sehingga mereka harus duduk di luar. Mereka hanya bisa menikmati misa lewat televisi yang gambarnya diambil sekenanya saja. Apalagi diiringi oleh koor yang.... lebih baik tidak usah digambarkan di sini. Selama misa itu, ia hanya menguap dan menguap sambil sesekali memeriksa jam di handphonenya. Entah pada keberapa kalinya ia mengecek HP ketika sebuah tanda panggilan masuk muncul di layar HPnya. Kontan ia me-reject. "woi lagi misa mas!" pikirnya dalam hati. Tak lama kemudian giliran Felxynya yang bergetar-getar meronta menandakan ada panggilan masuk. Nomor yang sama. Tanpa nama. Sambil mengerutkan dahi ia menulis pesan singkat dengan cepat.
Maaf lagi misa. Ini siapa?
Sent
Waktu sdah menunjukkan pukul 10 lebih waktu sebuah pesan masuk di kedua telepon genggamnya.
Sori2 k chen hehehe.. K chen, sheiren ini.. Sebentar kt ikut *tuguran jam 3? Krn kami yg remaja2 ini mau ikut tp brmslh dgn rmh nanti tdk ada yang kncikan.. Hehehe.. Sapa tw kami bs nebeng di rmhx k chen sbntran br sm2 ke mamajang.. Hehehe
"oalah. Sheiren to, adenya Sheila. haha" kepalanya berpikir lagi diam-diam.
Dengan cepat ia membalas
boleeeehh sekaliiiii
Ya, tadi siang kakak yang mengiriminya pesan itu memberi tahu bahwa sebentar malam komunitas mereka akan kebagian jatah untuk doa tuguran dari pukul 1 pagi hingga 5 pagi. Ia sudah berencana untuk pergi pukul 1 nanti. Tapi, rame-rame lebih baik. Lagipula doa tuguran itu dilaksanakan di parokinya, dan gerejanya hanya berjarak 1 blok dari rumahnya. Jadi, memang kelewatan jika ia melarang anak-anak sukarelawan ini untuk berteduh sebentar di rumahnya. Ayahnya menyoleknya tanda menegur. "Lagi misa" kira-kira begitu tanda colekannya. Serta-merta ia menaruh HPnya di dalam tasnya, dan kembali mengikuti misa. Duduk manis, diam.
Misa Kamis putihnya berjalan datar seperti apa yang ia sudah harapkan sebelumnya. Terlintas di pikirannya kenangan akan perayaan Kamis putih 5 tahun yang lalu, saat ia pertama kali menjadi anak perantauan. 12 rasul yang dibasuh kakinya diganti oleh 20 anak-anak SD yang dengan segala expresi naik ke altar dan dibasuh kakinya oleh Father Bowman haha. Ia terkekeh sendiri.
Pulang di rumah pukul 11 malam. Hanya berselang 15 menit dari kepulangannya, ia sudah kedatangan tamu 4 orang, disusul oleh 2 mobil yang berisikan anak-anak komunitasnya yang ingin ikut tuguran. Total-total, mereka berjumlah 12 orang. Butuh beberapa menit untuk membawa mereka semua naik ke atas, ke ruang doanya. Ruang doanya memang sedikit lebih luas daripada ruang-ruang lainnya, dan terletak agak eksklusif sehingga mau seribut apapun, orang tuanya atau orang-orang yang sudah tertidur tidak terganggu. Hanya butuh 10 menit untuk tahu bahwa ada beberapa dari mereka yang kelaparan, jadilah ia memasak indomie dan menemani yang kelaparan itu memadam kelaparannya.
Walaupun, anak-anak itu akan tuguran pukul 3, ia sudah terlanjur janji dengan tantenya untuk ikut doa tuguran pada pukul 1. Jadilah, ia dan si Sheiren berangkat ke Gereja terlebih dahulu. Doa tuguran itu mirip dengan visitase atau adorasi pribadi. Umat akan berdoa secara pribadi di depan Sakramen Mahakudus. Biasa tuguran it berlansung dari akhir misa Kamis putih kedua hingga pukul 6 pagi pada hari Jumat Agung. Perayaan Kamis putih itu sendiri adalah perayaan merayakan perjamuan terakhir Yesus dengan ke12 rasulNya, ditandai dengan pembasuhan kaki. Kamis Putih sebenarnya terbilang istimewa karena pada saat menyanyikan Gloria pada saat itulah, lonceng terakhir dibunyikan, dan diakhiri dengan Salve atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Sakraman Mahakudus akan diarak dan terakhir akan dibawa ke ruang adorasi. Setelah itu, malam tuguran atau detik-detik bersama Yesus.
Kembali ke cerita.
Ia, Sheiren, dan tantenya masuk ke ruang adorasi. Ia sudah lama tidak ke situ. Sudah begitu berubah. Begitu indah. Sampai-sampai air matanya meleleh karena ketikau ia membuka pintu, ia merasakan yang namanya kemegahan Tuhan. 13 piala diatur seperti segitiga, 1, 5, dan 7. Di sekelilingnya bertaburan lilin-lilin kecil dan bunga-bunga. Di atas piala, tergantung sebuah tabernakel bergambarkan Hati Kudus Yesus lengkap dengan cahaya yang pas. Di kanan-kirinya, terdapat patung Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Indah. Luar biasa indah. Ia berjalan perlahan dan mengambil posisi paling nyaman. Ia niatkan doa tuguran pertamanya ini sebagai ajang bercakap-cakap. Sudah lama ia ingin bercakap-cakap dengan Tuhan. Meminta jawaban atas pergumulannya. Hanya dengan dduk diam dan menulis seenak hati di dalam bukunyalah yang ia perlukan. Visitasi dan tuguran ini jelas menyediakan itu semua.
Satu jam setelah puas bercakap-cakap sendirian dalam hening, mereka pun balik ke rumah untuk menjemput rombongan anak-anak ngantuk namun berniat penuh untuk ikut tuguran. Alhasil, 8 orang cramping di dalam mobil escudo yang normalnya hanya memuat 5 orang. Pangku sana-sini, akhirnya mereka semua bisa muat dan meluncur ke Gereja. 2 jam berikutnya adalah saat-saat indah lainnya. Ia menikmati tuguran pertamanya. Diawali dengan berdoa bersama dengan teman-teman komunitasnya, dan diakhiri dengan hening lagi. Puas sudah ia berbicara dalam hening.
Pukul 5,dengan terseok-seok rombongan keluar dari ruang adorasi. Ada yang langsung pulang, ada yang kembali ke tempatnya. Konsekuensinya, ia tahu bahwa ia tidak akan tertidur hingga mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Alhasil, Kamis putihnya tidak berjalan biasa-biasa saja. Kamis putih itu adalah kali pertamanya mengikuti tuguran, dan malam itu ia menikmati setiap detik ia lewatkan dalam keheningan. Malam itu bukan malam biasa karena kontan ia tak tidur hingga pukul 10 pagi.
Awal Jumat paginya kurang begitu menyenangkan. Kurang tidur, ia jadi uring-uringan. Apalagi, ada beberapa anak yang 'kabur' begitu saja tanpa permisi. Alasannya mereka tidak menemukan dirinya di mana-mana. Sungguh, ia tidak bisa menerima alasan begitu seperti saja. Mau tidak mau ia bertanggung jawab atas anak-anak itu, jadi begitu ia tidak menemukan mereka, darahnya sudah langsung naik ke ubun-ubun. Untungnya, ia masih bisa kontrol dan mengingatkan dirinya bahwa "ini hanya miss communication." Situasi cepat terkendali.
Pukul 2 Siang, matanya terasa berat sekali. Mustahil jika ia bisa mengikuti misa jam 3 nanti. Apalagi ini Jumat Agung, biasanya umat akan sangat padat pada pukul 3 petang. Karena mereka percaya bahwa Yesus wafat tepat pada pukul 3. "ah masa bodoh lah. saya perlu tidur." gumamnya setengah mengantuk. Ia dan ayahnya pun berencana untuk misa kedua lagi.
Pukul 6 sore, mereka sudah berada di Gereja menanti misa dimulai. Sekali lagi, ia tidak berharap banyak. Suasana Gereja gaduh. Lagi-lagi ia kangen Newman Center yang selalu hening pada saat sebelum misa. Demi mengalihkan perhatian agar tidak begitu jengkel, ia memperhatikan altar. Altar hari itu kosong, tidak ada bunga, tidak ada taplak, bahkan tidak ada Salib. Salib besar yang biasa menghiasi dinding di belakang altar juga ditutupi kain. Memang sudah tradisi Gereja Katolik bahwa selama perayaan Jumat Agung, Salib akan ditutup dan altar tidak dihiasi secara meriah tanda berkabung. Menariknya, kebanyakan umat menggunakan pakaian berwarna hitam, namun pastor beserta pelayan misa dan prodiakon memakai warna merah.
Misa diawali tanpa lagu pembuka. Selesai menghormati altar, pastur lalu terkelungkup di depan altar dan keadaan hening. Setelah itu masuk ke pembacaan kisah sengsara. Ia sudah hampir tertidur lagi, namun cepat-cepat terbangun ketika homili. Pastur membuka homilinya dengan membaca sebuah kutipan dari Novel.
33 tahun Yesus menyiapkan diri untuk berkorban bagi dunia..
3 tahun Ia menyampaikan berita sukacita
Dengan 30 keping perak, Ia dikhianati
Sepanjang 3 km, Ia memikul salib
3 Paku tertancap di tangan dan kakinya
Tepat pukul 3 Ia wafat di kayu salib
Sebanyak 3 liter lebih darahNya tertumpah.
3 hari Ia berada di dalam kubur
dan 3 kata yang Ia ucapkan terakhir
"Aku mengasihi kamu"
Kutipan itu terasa begitu mengena, sehingga tanpa dipaksa seluruh indranya yang agak setengah sadar ia curahkan kepada bapak pastur. Bapak pastur lalu melanjutkan. "Kutipan ini diambil dari sebuah novel berjudul Cinta terakhir lebih indah daripada cinta pertama. Mencintai orang cantik gampang, mencintai pacar yang masih ganteng gampang, tetapi cinta sejati adalah tetap mencintai ketika pacar kita sudah jelek, ketika yang manis-manis telah berlalu, ketika suami kita terkena musibah. Sama seperti Yesus yang tetap mencintai kita walaupun kita berdosa. Ia mencintai kita dengan rela disalib"
Tak perlu penjelasan lebih lanjut mengapa ia menjadi begitu semangat mendengarkan kotbah itu hingga selesai. Ini kejadian langka. Kotbah ditutup dengan pastur berkata "sebentar ketika kita mencium salib, kita berjanji agar ciuman kita bukan ciuman pengkhinatan seperti si Yudas, melainkan ciuman cinta kasih, tanda terima kasih. Dan kita berjanji kita tidak akan mengecewakan Yesus lagi"
Perayaan Jumat Agung tahun ini ia daulatkan menjadi misa Jumat Agung terindah yang pernah ia jalani. Bahkan koor pun terdengar lebih indah. Pulang di rumah, makanan nasi dan ikan asin terasa lebih nikmat.
Hari Sabtu, ia sedikit berharap bahwa misanya akan sebagus kemarin, paling tidak Koornya menyanyi dengan lebih bagus. Tapi, nampaknya memang ia harusnya tidak berharap banyak. Karena begitu berharap, semua kejadian menjadi terbalik 180 derajat. Mulai dari tata caranya yang menurutnya kurang syahdu, koornya yang jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhh dari sekedar 'enak didengar', ia mulai dongkol dan membandingkan dengan pengalamannya waktu misa malam paskah pertamanya di negeri orang. Ia ingat total ada 9 bacaan. 7 bacaan, 1 epistola, dan 1 bacaan injil. Lucunya, ia menikmati semuanya. Apalagi setiap bacaan itu diselipi nyanyian antar bacaan. Tapi, ya...dasar orang-orang bule, suara mereka itu lain. Lebih halus. Ahh... tak baik juga jika membicarakan tetek bengek ini semua, toh inti dari misa bukanlah koor yang bagus, atau kotbah yang berapi-api, melainkan... kehadiranNya. Jelek-jeleknya misa itu dibuat, Ia hadir di situ. Mau sedongkol apapun, ia pun sadar bahwa misa adalah
misa, bukan sebuah pertunjukkan.
Serangkaian perayaan pekan suci pun telah mencapai akhir. Kamis Putih atau Holy Thursday dengan pembasuhan kakinya, Jumat Agung atau Good Friday dengan penghormatan Salib, dan Sabtu Suci atau Easter Vigil dengan pembaharuan janji babtis. Kesemuanya memang ditutup dengan riang gembira. Di akhir misa Malam Paskah, banyak pihak yang diberi ucapan terima kasih. Anak-anak mda yang ikut ambil bagian bersorak kegirangan ketika mereka disebut-sebut dalam daftar "ucapan terima kasih" haha. Hanya perbuatan sederhana yang dibalas dengan ucapan sederhana namun memberikan bekas luar biasa. :)
Sama seperti dirinya. Serangkaian pengalaman di pekan suci membuatnya berkonklusi bahwa kali ini bukan pekan suci biasa.Mulai dari berkontemplasi, berkomunikasi secara diam. Merekam ide tentang mencintai- benar-benar mencintai, hingga arti misa itu sendiri. Ya... jika ia berpikir lebih jauh, banyak pengalaman paskahnya yang berhubungan soal pengambilan intisari kehidupan itu sendiri, bukan sekedar misa spektakular yang meriah.
Serangkaian pekan suci diakhiri dengan misa dalam bahasa Inggris. Ia dan kawan-kawannya sempat bertemu dan ditutup dengan makan Siang bersama keluarganya.Sungguh menyenangkan melihat ibunya yang 3 bulan lalu masih mengerang kesakitan di atas tempat tidur, kini walaupun dengan agak tertatih-tatih, ibunya sudah bisa berjalan dan duduk makan di restoran.
Memang... kali ini bukan paskah yang biasa...
Paskah memang selalu luar biasa...
CVB